Borobudur adalah candi terbesar yang dimiliki oleh bangsa kita. Diatas tanah dengan luas lokasi 15.000 meter persegi berdiri kokoh susunan batu berundak 10 tingkat setinggi 42 meter. Total volume batu andesit yang digunakan untuk membentuk susunan ini sebanyak 55.000 meter kubik. Pada dinding candi juga terukir 1300 gambar relief cerita Buddha dan Mahabarata. Bila relief-relief ini disusun memanjang berurutan maka panjangnya mencapai 2,5 kilometer. Wow! Sungguh sebuah karya seni yang mahabesar. Oleh para arkeolog, Borobudur diperkirakan dibangun sekitar tahun 800 masehi oleh Wangsa Syailendra.
Karena keagungan dan kemegahannya inilah Borobudur menjadi pusat ziarah Agama Buddha yang terbesar se-Asia sekitar tahun 900 sampai tahun 1000 masehi. Bagaimana ya cara nenek moyang kita membuat relief dan susunan batu sebesar itu? Pada jaman itu tentunya belum ada truk dan alat angkut untuk membantu mengangkut batu-batu dari sungai, mereka harus melakukannya sendiri atau paling tidak dibantu oleh kuda.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Astronomi ITB dan langitselatan akan menambah kekaguman kita terhadap Candi Borobudur. Perhatikan baik-baik ya, stupa utama Candi Borobudur ternyata mempunyai fungsi sebagai sebuah penanda waktu.
Nenek moyang Bangsa Indonesia sejak jaman dahulu menggunakan rasi bintang di langit sebagai penanda waktu misalnya, masyarakat Jawa Tengah mengamati rasi bintang Orion hingga terbit dengan ketinggian tertentu untuk menentukan awal masa bercocok tanam. Astronomi bukanlah pengetahuan yang mengawang-awang bagi nenek moyang kita, mereka mengamati gerak bintang, matahari dan bulan sebagai penanda waktu.
|
Relief Bulan, 7 lingkaran kecil sebagai bintang dan matahari di dinding candi. Seperti gambaran sebuah rasi bintang. Kredit : irma Hariawang |
Borobudur bisa saja merupakan sebuah monumen astronomi yang merekam semua gerak langit di jaman itu. Untuk membuktikannya kita harus membongkar teka-tekinya terlebih dahulu. Hipotesa bermula dari bentuk candi yang cukup unik. Bila diamati dari langit, bentuknya simetris. Lantai 1 sampai 7 berbentuk persegi sama sisi sedangkan lantai 8 sampai 10 berbentuk lingkaran dengan pusatnya sebuah stupa utama dengan total tinggi 20 meter dan diameter 17 meter. Stupa utama ini memiliki posisi yang unik, berada di pusat lingkaran stupa – stupa kecil. Dari bentuk candi yang simetris inilah (seperti sebuah jam) akhirnya menimbulkan hipotesa bahwa stupa utama candi mempunyai fungsi sebagai sebuah penanda waktu.
Penanda waktu mula-mula yang digunakan oleh manusia adalah gomon atau jam matahari. Sistemnya sangat sederhana, hanya sebuah tongkat yang diletakkan vertikal diatas tanah. Dengan mengamati panjang bayangan tongkat setiap waktu maka dapat digambarkan sebuah pola bayangan tongkat. Nah, pola bayangan tongkat inilah yang digunakan manusia purba untuk menandai waktu.
|
Stupa Utama Candi Borobudur. Kredit : Irma Hariawang |
Untuk menguji kebenaran hipotesa, tim peneliti melakukan pengamatan di Candi Borobudur. Diamati pola bayangan stupa utama ketika matahari berada di titik Vernal Equinox (titik perpotongan bidang ekuator langit dan bidang ekliptika) yaitu 19 sampai 20 maret. Waktu ini dianggap istimewa karena pada hari itu matahari akan terbit dan terbenam di arah timur dan barat benar (east true & west true). Dengan berbekal data pengamatan ini dibuat sebuah model bayangan stupa utama setiap hari dalam satu tahun dan dikoreksi terhadap kesalahan pengukuran dan pengamatan. Hasilnya bayangan stupa utama membuat pola yang khas yang jatuh pada stupa kecil tertentu disekitarnya. Contoh penerapannya secara praktis seperti ini, kalau kita melihat bayangan stupa utama jatuh pada stupa 1 di tingkat 8 maka saat itu merupakan waktu bertanam (misalnya saja). Hasil ini membuktikan Candi Borobudur adalah sebuah jam raksasa di tahun 800, menarik bukan?!
|
Bayangan stupa utama dalam satu tahun. mekanisme jam raksasa. |
Penemuan ini tentunya masih harus disesuaikan terhadap banyak faktor, misalnya faktor goncangan tektonik yang membuat posisi stupa candi menjadi bergeser sehingga jatuhnya bayangan tidak akurat lagi. Selain itu juga belum diketahui mekanisme penanda waktu yang digunakan oleh masyarakat di jaman pembangunan Borobudur, sehingga kita belum tahu secara pasti stupa-stupa yang dianggap penting dan yang digunakan sebagai pertanda. Satu hal yang pasti, nenek moyang Bangsa Indonesia sudah mengenal astronomi dengan baik dan menerapkannya untuk membantu keseharian hidupnya. Astronomi bukan hanya mengenai bintang yang jauh di langit dan sulit untuk kita jangkau melainkan astronomi bisa menjadi sedekat waktu yang tiap detik kita amati.